Pada postingam sebelumnya ada sedikit diulas mengenai Bang Tongam Sirait, tapi cuma lagunya..
hehehe….
Biar lebih aFdol, ini ulasan menarik mengenai abang itu.
Dunia memang sudah terbalik-balik. Ketika sesama pendeta HKBP masih terus berkelahi rebutan jubah dan altar, sebagian bahkan sudah bertindak seperti preman, tiba-tiba muncul seorang preman asli lalu “berkotbah” mengenai kasih, persatuan dan kepedulian.
“Siboan dame do ompunta si Nommensen, dipodahon tu hita haulion. Siboan dame do ompunta si Nommensen, tapaturema tongtong parrohaonta i.” Inilah salah satu petikan “kotbah” preman tersebut.
Terjemahan bebasnya : Nommensen itu pembawa damai. Dia mengajarkan kebaikan kepada suku batak. Karena itu marilah perbaiki sikap dan perilaku kita.
Sungguh mengejutkan, bahwa pesan itu disampaikan oleh seorang preman, yang umumnya tak peduli kegelisahan batin masyarakat di sekelilingnya. Lebih dari itu, preman yang satu ini cukup jenius dan cerdik. Dia mampu merekam jeritan batin mayoritas yang bungkam (silent majority) di kalangan warga HKBP, sekaligus mengimbau para pendeta HKBP untuk introspeksi, tanpa secara langsung mengatakannya. Dia hanya mengingatkan dedikasi dan pengorbanan Nommensen yang luar biasa, bagi masyarakat Batak.
“Kotbah” preman tersebut disampaikan lewat lagu ballada, judulnya Nommensen, yang dia ciptakan dan nyanyikan sendiri. Secara lirik maupun musikal, refrain lagu ini paling kuat merefleksikan duka yang tak terkatakan, rasa frustrasi yang terpendam dan sekaligus harapan jemaat HKBP.
Coba dengarkan. Seusai lirik,”…tapature ma tongtong parrohaonta be,” kemudian muncul lengkingan seruling yang sungguh menyayat hati. Sangat kontekstual.
Nommensen sangat dihormati oleh masyarakat batak, kurang lebih seperti para wali di Jawa. Sebagai tanda penghormatan tertinggi, Nommensen yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Tano Batak, diberikan gelar Ompu i. Pasalnya, orang Eropa ini dianggap sangat berjasa menghentikan sindrom “bunuh diri” yang merasuki Bangso Batak sekitar satu setengah abad silam, berupa perang antar marga dan antarkampung serta perbudakan.
Dengan mengingatkan kembali dedikasi dan pengorbanan Nommensen, secara tidak langsung, preman tadi menyindir para pendeta dan jemaat HKBP yang konon sedang dilanda krisis spiritual. Namun dia cukup bijak, tidak menuding siapa pun, melainkan mengajak semuanya untuk introspeksi dan memperbaiki perilaku.
Preman itu bernama Tongam Sirait. Domisilinya di Parapat, tepatnya di Tiga Raja. Sehari-hari dia kerja serabutan untuk menghidupi isteri dan empat anaknya. Mengangkat batu dari danau Toba ke pantai atau menjadi calo kapal danau. Kalau sedang musim turis, seperti pada lebaran kemarin, Tongam beralih profesi menyewakan tikar bagi wisatawan.
“Tapi sekarang tak ada lagi turis datang, Wak,”ujarnya dengan logat Medan yang kental, ketika bertemu di kafe TobaDream di kawasan Manggarai, Jakarta, akhir pekan lalu. Dia makin lesu ketika diberitahu, Danau Toba tidak termasuk obyek wisata unggulan dalam kampanye Visit Indonesia Year 2008.
Tobadreamer
Tongam sudah hampir sebulan berada di Jakarta, melakoni profesinya yang lain : penyanyi! Setiap malam Minggu, dia tampil bersama Viky Sianipar di kafe TobaDream, menghibur komunitas batak di Jakarta– yang nampak sangat haus hiburan bermutu dan familiar. Kehadiran keduanya membuat family cafe itu selalu penuh sesak.
Harus diakui, Tongam dan Viky telah menguak takdir baru musik batak, dengan lagu dan aransemen bernapas musik dunia. Mereka berhasil mengawinkan kekayaan warisan musik batak dengan kejayaan musik moderen. Mula-mula memang ada rasa terkejut, janggal dan menolak, mendengar hasil “perselingkuhan” uning-uningan dengan rock n roll, sarunai dengan biola , hasapi dengan gitar elektrik. Namun setelah mendengar dua tiga lagu, terutama lagu Nommensen dan Mengkel Nama Ahu, dijamin Anda akan mulai terbawa irama dan spiritnya.
Tongam selalu tampil prima sebagai penghibur profesional, membawakan lagu-lagu ciptaannya sendiri –termasuk lagu Nommensen yang kontemplatif itu. Maka tak usah heran, para tobadreamer kini mengidolakan Tongam dan Viky. Tobadreamer adalah istilah baru di kalangan perantau batak di Jakarta, sebutan bagi orang atau kelompok yang mencintai budaya batak dengan paradigma baru, bahwa budaya batak itu keren dan kelas dunia.
Kabarnya lagu “Nommensen” kini sangat populer di kalangan anak muda di Tapanuli. Tembang tersebut dirilis dalam album solo Tongam dengan judul yang sama, beserta sembilan lagu lain yang juga sangat digemari para pecinta musik, khususnya generasi muda. Di Jakarta, lagu-lagu Tongam yang paling populer adalah Taringot Ahu, Mengkel Nama Ahu, Nommensen, Ingotma dan Tapature.
Viky Sianipar mengaku sangat mengagumi talenta dan ketrampilan musikal Tongam. “Memang, waktu pertama kali diperkenalkan dengan Tongam aku ogah-ogahan. Tapi setelah dia memainkan gitarnya, kemudian menyanyikan Come To Lake Toba, wah aku jadi kagum sambil malu hati,”tutur Viky sembari memuji rekannya itu,”Kualitas musiknya kelas dunia. Dia punya talenta yang luar biasa.”
Preman yang religius
Sosok Tongam adalah gabungan dari kontradiksi-kontradiksi, talenta musik yang extraordinary (luar biasa) dan integritas yang kokoh di balik sikapnya yang bersahaja. Ada kalanya dia bertindak sangat naif, nekad merantau hanya untuk mempromosikan obyek wisata Parapat –yang indah namun sepi tanpa turis, lalu meminta Serevina boru Pasaribu menjadi isterinya, padahal baru kenal beberapa jam.
Tongam adalah manusia self-made, membentuk diri sendiri lewat pergulatan hidup yang berliku, dari proses panjang petualangannya di rantau. Terlahir di sebuah lapo di Parapat, di bawah bimbingan ayah yang tangannya dihiasi tato– Tuan Bos Sirait namanya, Tongam tumbuh di antara dunia keras para preman dan senandung melankolis biduan-biduan kampung.
“Bapakku preman habis. Tapi dia juga suka main gitar dan menyanyi. Untuk membuat orang betah di lapo, bapak sengaja membeli dua gitar,”tutur Tongam sembari menjelaskan, dengan millieu dan spirit lingkungan semacam itu, dia sudah mahir memainkan gitar pada usia delapan tahun. Semuanya terjadi begitu saja. Lihat, tiru lalu mainkan.
Tongam tak pernah bermimpi bakal meraih sukses seperti sekarang. Bakat bukanlah apa-apa kalau tidak ada kesempatan mengaktualisasikan. Itulah yang disadarinya dengan rasa pahit, ketika terpaksa menyerah di perantauan, Bali dan Jakarta, lalu pulang ke kampungnya, di tepian Danau Toba yang sangat dicintainya.
“Waktu aku mau merantau ke Jakarta, ibuku sudah mengingatkan, tak mungkinlah kau Tongam berhasil di perantauan, kalau cuma mengandalkan bakatmu bernyanyi,”tutur Tongam mengenang. Tak berapa lama setelah Tongam pulang, ibunya meninggal. Saat itulah dia melihat seorang gadis yang belum dikenalnya. Lalu dengan spontan dia melamarnya. Esoknya boru Pasaribu itu sudah menjadi isterinya.
“Sebenarnya aku sangat ingin upacara perkawinan dengan naik kuda. Begitulah adat batak yang benar. Tapi waktu itu aku tak punya uang. Mudah-mudahan nanti impian dari masa kecilku ini bisa terlaksana, untuk memberi contoh pada generasi muda batak,”ujarnya.
Talenta yang luar biasa
Dengan cara hidup yang mengarus, mengikuti kata hati, preman Parapat ini seperti tak pernah merencanakan apapun dalam hidupnya. Mengalir saja mengikuti situasi, terbawa gejolak jiwa seninya. Menurut pengakuannya, kebanyakan lagunya tercipta secara instan, artinya ide muncul seketika lalu dia nyanyikan dengan iringan gitar.
Lagu Nommensen lahir lewat proses seperti itu. Ketika mendengar orang bercerita mengenai kelakuan sinting sekelompok pemeluk sekte kristen, yang belakangan makin gencar dan demonstratif membakar ulos, jiwa Tongam berontak dan geram. Seketika itu juga terciptalah lagu Nommensen.
Dikaitkan dengan latar belakang hidupnya yang keras, lagu-lagu Tongam terkesan kontradiktif. Tema umum lagu ciptaan alumni SMA I Parapat ini adalah tentang kasih, persahabatan dan kepeduliaan. Sebagian lagi bahkan sangat jenaka, meskipun liriknya mengisahkan orang-orang yang tak beruntung, seperti pada lagu O Doli Doli dan Mengkel Nama Au. “Itulah hebatnya Tongam, bahkan lagu sedihpun dia nyanyikan dengan macho,”kata Viky.
Kemudian, bagaimana menjelaskan ini, seorang pemusik kampung dari Parapat tiba-tiba tampil dengan lagu-lagu ciptaan sendiri yang liriknya kontekstual dan musiknya berirama rock, country dan jazz ? Kesannya seperti ahistoris dan tanpa akar. Namun jika ditelusuri perjalanan hidupnya, agaknya petualangannya di Bali berpengaruh paling besar. Disanalah dia “terkoneksi” dengan musik dunia.
Ada yang meramalkan, Tongam bakal menyamai kehebatan pencipta lagu batak legendaris, Nahum Situmorang. Namun yang pasti, pemusik otodidak yang bangga dengan seni budaya batak ini akan selalu merasa bagian dari HKBP. Jangan heran, tembang ciptaannya yang pertama adalah lagu koor, saat dia baru berusia 15 tahun.
Repost lagi bos, lebih lengkapnya lihat di web INI atau ke situs web abang itu di SINI.
Anda Bisa download lagunya di AREA INI. Mauliate ma di hita.
HORAS!!!