h1

Si Preman yang Jago Nyanyi “Tongam Sirait”

7 Desember 2010

Pada postingam sebelumnya ada sedikit diulas mengenai Bang Tongam Sirait, tapi cuma lagunya..

hehehe….

Biar lebih aFdol, ini ulasan menarik mengenai abang itu.

Dunia memang sudah terbalik-balik. Ketika sesama pendeta HKBP masih terus berkelahi rebutan jubah dan altar, sebagian bahkan sudah bertindak seperti preman, tiba-tiba muncul seorang preman asli lalu “berkotbah” mengenai kasih, persatuan dan kepedulian.

Siboan dame do ompunta si Nommensen, dipodahon tu hita haulion. Siboan dame do ompunta si Nommensen, tapaturema tongtong parrohaonta i.” Inilah salah satu petikan “kotbah” preman tersebut.

 

Terjemahan bebasnya : Nommensen itu pembawa damai. Dia mengajarkan kebaikan kepada suku batak. Karena itu marilah perbaiki sikap dan perilaku kita.

Sungguh mengejutkan, bahwa pesan itu disampaikan oleh seorang preman, yang umumnya tak peduli kegelisahan batin masyarakat di sekelilingnya. Lebih dari itu, preman yang satu ini cukup jenius dan cerdik. Dia mampu merekam jeritan batin mayoritas yang bungkam (silent majority) di kalangan warga HKBP, sekaligus mengimbau para pendeta HKBP untuk introspeksi, tanpa secara langsung mengatakannya. Dia hanya mengingatkan dedikasi dan pengorbanan Nommensen yang luar biasa, bagi masyarakat Batak.

“Kotbah” preman tersebut disampaikan lewat lagu ballada, judulnya Nommensen, yang dia ciptakan dan nyanyikan sendiri. Secara lirik maupun musikal, refrain lagu ini paling kuat merefleksikan duka yang tak terkatakan, rasa frustrasi yang terpendam dan sekaligus harapan jemaat HKBP.

 

Coba dengarkan. Seusai lirik,”…tapature ma tongtong parrohaonta be,” kemudian muncul lengkingan seruling yang sungguh menyayat hati. Sangat kontekstual.

Nommensen sangat dihormati oleh masyarakat batak, kurang lebih seperti para wali di Jawa. Sebagai tanda penghormatan tertinggi, Nommensen yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Tano Batak, diberikan gelar Ompu i. Pasalnya, orang Eropa ini dianggap sangat berjasa menghentikan sindrom “bunuh diri” yang merasuki Bangso Batak sekitar satu setengah abad silam, berupa perang antar marga dan antarkampung serta perbudakan.

Dengan mengingatkan kembali dedikasi dan pengorbanan Nommensen, secara tidak langsung, preman tadi menyindir para pendeta dan jemaat HKBP yang konon sedang dilanda krisis spiritual. Namun dia cukup bijak, tidak menuding siapa pun, melainkan mengajak semuanya untuk introspeksi dan memperbaiki perilaku.

Preman itu bernama Tongam Sirait. Domisilinya di Parapat, tepatnya di Tiga Raja. Sehari-hari dia kerja serabutan untuk menghidupi isteri dan empat anaknya. Mengangkat batu dari danau Toba ke pantai atau menjadi calo kapal danau. Kalau sedang musim turis, seperti pada lebaran kemarin, Tongam beralih profesi menyewakan tikar bagi wisatawan.

“Tapi sekarang tak ada lagi turis datang, Wak,”ujarnya dengan logat Medan yang kental, ketika bertemu di kafe TobaDream di kawasan Manggarai, Jakarta, akhir pekan lalu. Dia makin lesu ketika diberitahu, Danau Toba tidak termasuk obyek wisata unggulan dalam kampanye Visit Indonesia Year 2008.

Tobadreamer

Tongam sudah hampir sebulan berada di Jakarta, melakoni profesinya yang lain : penyanyi! Setiap malam Minggu, dia tampil bersama Viky Sianipar di kafe TobaDream, menghibur komunitas batak di Jakarta– yang nampak sangat haus hiburan bermutu dan familiar. Kehadiran keduanya membuat family cafe itu selalu penuh sesak.

Harus diakui, Tongam dan Viky telah menguak takdir baru musik batak, dengan lagu dan aransemen bernapas musik dunia. Mereka berhasil mengawinkan kekayaan warisan musik batak dengan kejayaan musik moderen. Mula-mula memang ada rasa terkejut, janggal dan menolak, mendengar hasil “perselingkuhan” uning-uningan dengan rock n roll, sarunai dengan biola , hasapi dengan gitar elektrik. Namun setelah mendengar dua tiga lagu, terutama lagu Nommensen dan Mengkel Nama Ahu, dijamin Anda akan mulai terbawa irama dan spiritnya.

Tongam selalu tampil prima sebagai penghibur profesional, membawakan lagu-lagu ciptaannya sendiri –termasuk lagu Nommensen yang kontemplatif itu. Maka tak usah heran, para tobadreamer kini mengidolakan Tongam dan Viky. Tobadreamer adalah istilah baru di kalangan perantau batak di Jakarta, sebutan bagi orang atau kelompok yang mencintai budaya batak dengan paradigma baru, bahwa budaya batak itu keren dan kelas dunia.

Kabarnya lagu “Nommensen” kini sangat populer di kalangan anak muda di Tapanuli. Tembang tersebut dirilis dalam album solo Tongam dengan judul yang sama, beserta sembilan lagu lain yang juga sangat digemari para pecinta musik, khususnya generasi muda. Di Jakarta, lagu-lagu Tongam yang paling populer adalah Taringot Ahu, Mengkel Nama Ahu, Nommensen, Ingotma dan Tapature.

Viky Sianipar mengaku sangat mengagumi talenta dan ketrampilan musikal Tongam. “Memang, waktu pertama kali diperkenalkan dengan Tongam aku ogah-ogahan. Tapi setelah dia memainkan gitarnya, kemudian menyanyikan Come To Lake Toba, wah aku jadi kagum sambil malu hati,”tutur Viky sembari memuji rekannya itu,”Kualitas musiknya kelas dunia. Dia punya talenta yang luar biasa.”

Preman yang religius

Sosok Tongam adalah gabungan dari kontradiksi-kontradiksi, talenta musik yang extraordinary (luar biasa) dan integritas yang kokoh di balik sikapnya yang bersahaja. Ada kalanya dia bertindak sangat naif, nekad merantau hanya untuk mempromosikan obyek wisata Parapat –yang indah namun sepi tanpa turis, lalu meminta Serevina boru Pasaribu menjadi isterinya, padahal baru kenal beberapa jam.

Tongam adalah manusia self-made, membentuk diri sendiri lewat pergulatan hidup yang berliku, dari proses panjang petualangannya di rantau. Terlahir di sebuah lapo di Parapat, di bawah bimbingan ayah yang tangannya dihiasi tato– Tuan Bos Sirait namanya, Tongam tumbuh di antara dunia keras para preman dan senandung melankolis biduan-biduan kampung.

“Bapakku preman habis. Tapi dia juga suka main gitar dan menyanyi. Untuk membuat orang betah di lapo, bapak sengaja membeli dua gitar,”tutur Tongam sembari menjelaskan, dengan millieu dan spirit lingkungan semacam itu, dia sudah mahir memainkan gitar pada usia delapan tahun. Semuanya terjadi begitu saja. Lihat, tiru lalu mainkan.

 

Tongam tak pernah bermimpi bakal meraih sukses seperti sekarang. Bakat bukanlah apa-apa kalau tidak ada kesempatan mengaktualisasikan. Itulah yang disadarinya dengan rasa pahit, ketika terpaksa menyerah di perantauan, Bali dan Jakarta, lalu pulang ke kampungnya, di tepian Danau Toba yang sangat dicintainya.

“Waktu aku mau merantau ke Jakarta, ibuku sudah mengingatkan, tak mungkinlah kau Tongam berhasil di perantauan, kalau cuma mengandalkan bakatmu bernyanyi,”tutur Tongam mengenang. Tak berapa lama setelah Tongam pulang, ibunya meninggal. Saat itulah dia melihat seorang gadis yang belum dikenalnya. Lalu dengan spontan dia melamarnya. Esoknya boru Pasaribu itu sudah menjadi isterinya.

“Sebenarnya aku sangat ingin upacara perkawinan dengan naik kuda. Begitulah adat batak yang benar. Tapi waktu itu aku tak punya uang. Mudah-mudahan nanti impian dari masa kecilku ini bisa terlaksana, untuk memberi contoh pada generasi muda batak,”ujarnya.

Talenta yang luar biasa

Dengan cara hidup yang mengarus, mengikuti kata hati, preman Parapat ini seperti tak pernah merencanakan apapun dalam hidupnya. Mengalir saja mengikuti situasi, terbawa gejolak jiwa seninya. Menurut pengakuannya, kebanyakan lagunya tercipta secara instan, artinya ide muncul seketika lalu dia nyanyikan dengan iringan gitar.

Lagu Nommensen lahir lewat proses seperti itu. Ketika mendengar orang bercerita mengenai kelakuan sinting sekelompok pemeluk sekte kristen, yang belakangan makin gencar dan demonstratif membakar ulos, jiwa Tongam berontak dan geram. Seketika itu juga terciptalah lagu Nommensen.

Dikaitkan dengan latar belakang hidupnya yang keras, lagu-lagu Tongam terkesan kontradiktif. Tema umum lagu ciptaan alumni SMA I Parapat ini adalah tentang kasih, persahabatan dan kepeduliaan. Sebagian lagi bahkan sangat jenaka, meskipun liriknya mengisahkan orang-orang yang tak beruntung, seperti pada lagu O Doli Doli dan Mengkel Nama Au. “Itulah hebatnya Tongam, bahkan lagu sedihpun dia nyanyikan dengan macho,”kata Viky.

Kemudian, bagaimana menjelaskan ini, seorang pemusik kampung dari Parapat tiba-tiba tampil dengan lagu-lagu ciptaan sendiri yang liriknya kontekstual dan musiknya berirama rock, country dan jazz ? Kesannya seperti ahistoris dan tanpa akar. Namun jika ditelusuri perjalanan hidupnya, agaknya petualangannya di Bali berpengaruh paling besar. Disanalah dia “terkoneksi” dengan musik dunia.

Ada yang meramalkan, Tongam bakal menyamai kehebatan pencipta lagu batak legendaris, Nahum Situmorang. Namun yang pasti, pemusik otodidak yang bangga dengan seni budaya batak ini akan selalu merasa bagian dari HKBP. Jangan heran, tembang ciptaannya yang pertama adalah lagu koor, saat dia baru berusia 15 tahun.

Repost lagi bos, lebih lengkapnya lihat di web INI atau ke situs web abang itu di SINI.

Anda Bisa download lagunya di AREA INI. Mauliate ma di hita.

HORAS!!!

h1

Siboan tua do omputa si Nommensen

7 Desember 2010

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.

Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.

Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.

Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.

Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.

Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).

Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.

Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.

Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.

Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.

Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.

Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.

Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada.

Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.

Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.

Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.

Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.

Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…

Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn, Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulang tahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.

Repost dari Website Silaban. Mauliate ateh bang.

Judul diatas adalah sepenggal kalimat yang ada di lagu abang Tongam Sirait. Silahkan Download lagunya di SINI.

HORAS!!!